Kisah Nyata AS

0 2,373

Hijrah, Setelah Dua Kali Jadi Warga Binaan.

TINTA RAKYAT – Sejak 55 tahun yang lalu, tepatnya 11 Desember 1968 di kota Padang Saya lahir ke dunia sebagai anak pertama laki-laki dari lima bersaudara. Saya terlahir dari pasangan keluarga yang sederhana dan berpendidikan. Saya katakan demikian, karena kedua orang tua kami adalah anak-anak petani yang kebetulan berprofesi sebagai pegawai negeri. Dengan penghasilannya yang sangat pas-pasan di kala itu.

Dengan kondisi ekonomi seperti itu, mereka mampu menghidupi dan menyekolahkan kelima anaknya. Berkat kegigihan dan keuletan dalam mengharungi bahtera rumah tangga, mereka berhasil menjadikan anak-anaknya orang yang berpendidikan pula. Diantaranya, tiga orang lulusan pasca sarjana, termasuk saya dan dua orang lagi juga sampai sarjana. Suatu kepuasan tersendiri bagi setiap orang tua, bisa menyekolahkan anak-anaknya sampai di perguruan tinggi.

Badung Sejak Kecil.

Dari lima orang bersaudara yang terdiri dari dua perempuan dan tiga laki-laki, saya memang termasuk yang agak berbeda dari saudara lainnya. Saya boleh dikatakan badung dan nakal sejak kecil. Saya sudah mulai merokok sejak dari SMP, mengenal minuman beralkohol atau minuman keras (miras) sejak duduk di bangku SMA bahkan sering bolos sekolah dan hura-hura.

Bahkan, Saya pernah ditahan selama seminggu di Polsek Padang Utara. Berawal dari ajakan teman untuk ikut memutus kabel listrik di gudang, yang terletak di komplek perumahan saya. Ini sebagai dampak dari saya sering nongkrong di warung dan mendengar cerita kedua teman yang sudah melakukannya beberapa kali. Pada saat saya ikut serta, ternyata pemilik gudang sudah siaga dan menyerahkan saya bersama kedua teman ke Polsek setempat. Jadi dari tiga anak laki-laki orang tua, hanya saya lah selalu membuat susah dan bikin panik di tengah keluarga kala itu.

Mengenal Narkoba.

Hobi hura-hura dan minum miras serta nongkrong di warung mulai berkurang, setelah saya kuliah dan mulai bekerja sebagai PNS pada tahun 1991 di salah satu instansi pemerintah di kota Pariaman.

Di tahun 1997 saya menikah dengan seorang perempuan lulusan IKIP, yang dipertemukan melalui proses perjodohan dan kami menikah karena sudah merasa saling cocok selama masa perkenalan.

Saya bersyukur, dipilihkan Allah SWT jodoh seorang perempuan sangat baik dan berhati mulia. Dua tahun setelah menikah, istri saya lulus sebagai guru PNS di sebuah sekolah menengah keagamaan di Kabupaten Pasaman. Selama tujuh tahun (1999 – 2006) kami tidak tinggal bersama, alias perkawinan jarak jauh dan sampai saat ini kami belum dikaruniai anak.

Pada tahun 1999, instansi tempat saya bertugas dibubarkan oleh Presiden dan saya mulai bergabung dengan Pemkab. Padang Pariaman. Saya ditempatkan sebagai staf di bagian Humas kantor Bupati. Pada tahun 2001 saya menduduki jabatan salah satu Kasubag di Sekretariat Daerah Kabupaten Padang Pariaman, sejak saat itulah saya pertama kali mengenal salah satu jenis narkoba, yaitu pil extacy atau inex.

Berawal dari pertemuan dengan teman satu kampus saat kuliah, ia bertugas di Kota Pekanbaru. Kami bertemu di salah satu kafe yang ada di kota itu. Dia mengatakan waktu itu, kalau saya mau jadi pejabat yang sukses harus mencoba ini dan dia menyuruh saya memakan pil ekstasi itu separo. Selanjutnya kami pergi ke diskotik, yang lokasinya tidak berapa jauh dari kafe tersebut.

Sejak itulah, saya mulai ketagihan mengkonsumsi narkoba jenis ekstasi tersebut. Setiap ada kegiatan atau dinas ke luar kota, saya pasti pergi ke diskotik atau cafe untuk berjoget sambil konsumsi inex.

Sekitar tahun 2004, bertepatan dengan terbakarnya salah satu diskotik di kota Padang, saya mulai dikenalkan dengan sabu-sabu. Karena sudah tidak ada lagi tempat berjoget yang nyaman untuk menekan inex. Barang haram itu, ditawarkan kepada saya oleh seorang teman yang juga pejabat di kantor Bupati yang setara dengan atasan saya. Dia mengatakan, kalau mengkonsumsi sabu menyebabkan tubuh bergairah dan semangat kerja yang tinggi. Ditambahkan lagi, tidak perlu musik dan tidak memerlukan tempat khusus untuk menggunakannya.

Sejak saat itu, saya semakin tidak bisa lepas dari barang terlarang ini. Sebenarnya keluarga saya sudah curiga dan ada beberapa kolega yang peduli memberitahu keluarga (kakak perempuan dan adik laki laki saya). Kedua saudara saya sudah berupaya mengingatkan, bahkan kakak perempuan beberapa kali sengaja mendatangi saya ke rumah saat tinggal di Pariaman.

Mereka mulai dari menanyakan dan memastikan, sampai memohon agar saya menjauh dan meninggalkan kebiasaan nyabu ini. Tapi semua selalu saya bohongi dan mengatakan saya sudah berhenti. Saya berhasil, seolah olah saya sudah insyaf padahal saya berbohong dengan sangat rapi.

Sejak menggunakan Narkoba, pergaulan saya semakin luas. Karir saya sebagai PNS juga semakin cemerlang dan gemilang. Pada tahun 2007 saya dipercaya oleh Bupati sebagai Kasubdin (eselon IIIa) pada Dinas Perhubungan dan selanjutnya dimutasi ke unit kerja lain yang salah satunya adalah sebagai Kabag Humas. Karena posisi saya sering pada jabatan yang sangat strategis, beban kerja semakin meningkat dan kebutuhan terhadap sabu juga semakin tinggi. Saya tidak peduli uang gaji dan tunjangan ludes untuk membeli narkoba. Sehingga, saya tidak sempat menabung dari penghasilan yang boleh dibilang lebih dari cukup itu.

Selama bekerja dan menjadi pejabat, saya hanya bisa memiliki sebuah rumah sederhana tipe 36 dan satu unit sepeda motor matic yang diperoleh secara kredit. Selain itu saya tidak punya lagi, baik simpanan uang ataupun barang-barang berharga lainnya. Kalau boleh dibilang, mungkin saya lah pejabat eselon III yang sangat miskin dengan harta kekayaan. Namun semua itu bukanlah tujuan dari kehidupan yang dijalani, yaitu untuk mencari kebahagiaan. Karena kebahagiaan itu tidak dapat diukur dengan harta yang berlimpah dan sukses dalam karir, tapi mensyukuri apa yang kita miliki dan apa yang telah kita berikan dan bermanfaat bagi sesama akan membuat kita bahagia.

Pada awal tahun 2015, saya juga mendapat amanah dari keluarga besar untuk menjadi penghulu kaum. Saya dipercaya untuk menyandang gelar datuak Asa Nagari dalam suku Sikumbang di Nagari asal Saya. Kepercayaan ini merupakan suatu kehormatan dan kebahagian tersendiri bagi saya. Karena akan mengangkat harga diri dan martabat keluarga saya di tengah kaum dan lingkungan di tempat tinggal.

Pertama Jadi Warga Binaan.

Sebelum memasuki usia 50 tahun, semua teman-teman saya yang sehari itu sudah mulai berubah dan hijrah. Mereka tidak lagi menjadi budak narkoba dan ia menyarankan agar saya juga segera berhenti dan meninggalkan barang haram itu. Tetapi saya tidak peduli, bahkan semakin banyak berteman dengan bandar narkoba yang memiliki latar belakang kehidupannya tidak jelas.

Setelah puluhan tahun mengkonsumsi dan bergaul dengan orang-orang dalam lingkungan narkoba, pada bulan Mei tahun 2018 saya ditangkap polisi. Penangkapan itu merupakan pengembangan dari ditangkapnya seorang teman sedang mengkonsumsi narkoba, yang sebelumnya dia memperoleh sabu-sabu dari saya.

Saat itu, saya dikenakan pasal 127 UU narkotika sebagai pengguna atau pemakai narkotika jenis sabu dan saya divonis 1 tahun. Itulah untuk pertama kalinya saya dipenjara sebagai warga binaan di Lapas kelas II B Pariaman. Kejadian ini, sebagai hukuman dari perbuatan saya yang melanggar hukum dan merugikan diri sendiri serta menjadi balasan akibat sering lalai dalam menjalankan perintah Allah SWT.

Untuk pengurusan saya serta biaya selama ditahan dan menjadi warga binaan, rumah hasil keringat saya terpaksa dijual dengan harga murah. Karena saat itu, saya tidak memiliki sedikitpun uang tabungan.

Namun semua yang menimpa diri saya itu, hanya dianggap seperti angin lalu saja. Saya masih belum berubah, selama jadi warga binaan masih mengkonsumsi narkoba. Karena saya sekamar dengan para bandar narkoba. Secara diam-diam, saya juga masih bergaul dan berkomunikasi dengan teman-teman yang masih pecandu narkoba.

Setelah bebas dari Lapas Pariaman bulan Mei 2019, saya mulai merintis karier lagi mulai dari bawah. Diawali sebagai staf pada salah satu Kantor Camat di kabupaten Padang Pariaman, hingga menduduki jabatan sebagai Kasi (eselon IVa).

Selama bertugas di Kantor Camat, saya masih juga mengkonsumsi sabu. Tapi tidak lagi bersama teman-teman, saya mengkonsumsi dengan cara sendirian dan sembunyi-sembunyi. Ketika ada yang bertanya, saya selalu berbohong. Dengan mengatakan kepada semua orang, kalau saya sudah tidak lagi memakai narkoba, termasuk istri dan orang tua saya. Bahkan semenjak tahun 2019 itu, saya sudah berhenti merokok. Hal itu untuk meyakinkan semua orang, bahwa saya sudah benar-benar tidak mengkonsumsi sabu lagi.

Pada bulan November 2021, saya kembali dipercaya menjadi Kabag Protokol dan Komunikasi Pimpinan (eselon IIIa) di Sekretariat Daerah. Posisi itu merupakan jabatan yang sangat strategis untuk peningkatan karir saya.

Ketika itu, Bupati berpesan agar saya benar-benar sudah bersih dari narkoba. Karena beliau juga sudah meyakinkan semua orang. “Walaupun pernah tersangkut masalah narkoba, tapi sekarang dia sudah berubah dan tidak menggunakan narkoba lagi” katanya. Tapi semua saya bohongi, termasuk Bupati yang telah memberikan kepercayaan dan mengembalikan harga diri saya.

 

Ditangkap Lagi.

Belum cukup setahun saya menduduki jabatan strategis itu, pada bulan Juni 2022 saya tertangkap lagi. Kronologi penangkapan, setelah saya mengkonsumsi sabu berdua teman di rumahnya kota Pariaman. Enam orang polisi datang siang itu menggerebek tempat rumah tersebut, setelah teman saya pamit beberapa saat ke belakang rumahnya. Perasaan kesal bercampur panik luar biasa, saya rasakan saat itu.

Namun, saya hanya bisa pasrah dan harus menerima semua hukuman ini. Saat itu sya baru menyadari, bahwa hukuman yang saya terima ini adalah buah dari kebohongan yang sudah saya lakukan selama bertahun-tahun. Allah SWT murka dan menunjukkan kuasaNya, dengan membuka aib saya.

Sebagai Warga Binaan Kedua Kalinya..

Setelah 3 bulan menjalani masa tahanan di sel Polres Pariaman, saya kembali dikirim ke Lapas kelas IIB Pariaman untuk kedua kalinya dan divonis 4 tahun 1 bulan karena melanggar pasal 112 dan 114 UU Narkotika.

Dengan hasil putusan itu, menyebabkan saya harus rela melepas jabatan dan berhenti mengabdi sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN) yang sudah 31 tahun saya geluti. Padahal selama masa dinas tersebut, saya sudah memperoleh penghargaan Satya Lencana Karya Satya untuk masa kerja 10 dan 20 tahun dari Presiden, dengan pangkat terakhir golongan IV-b terhitung mulai 1 April 2012.

Kali ini, tidak hanya karir sebagai ASN tapi semua pendapatan saya sudah tidak ada lagi. Seluruh biaya dan kebutuhan saya sejak mulai ditahan hingga menjadi warga binaan di Lapas Pariaman, ditanggung semua dan dilakukan oleh istri saya. Syukur Alhamdulillah, dia masih menerima gaji sebagai PNS guru setiap bulannya dan diberi kesehatan oleh Allah SWT.

Perubahan Lapas Pariaman.

Kehadiran saya di Lapas Pariaman yang untuk kedua kalinya ini, membuat saya benar-benar ingin hijrah dan berubah menjadi lebih baik. Lapas Pariaman sekarang, sangat jauh berbeda suasananya dengan kondisi Lapas waktu Saya pertama kali menjadi warga binaan di sana.

Saya terkesima, setelah membaca tulisan slogan di spanduk gerbang dalam “Masuk Napi, Keluar Da’i’ yang digagas oleh Kepala Lapas Pariaman Effendi, Amd.IP, SH. MH saat itu. Slogan ini bisa terwujud, karena didukung dengan program kamar santri yang telah dibentuk dengan berbagai kegiatan bernuansa Islami. Bahkan tidak mengherankan jika para napi tidak segan untuk memakai peci, jubah, sorban dan sarung dalam kesehariannya. Sepertinya waktu itu saya berada dalam lingkungan pondok Pesantren, bukan lagi serasa dalam penjara yang dikenal angker dan sangat menyeramkan.

Berniat Hijrah.

Setelah menjadi warga binaan dan bergabung di kamar santri, saya selalu mengikuti program keagamaan seperti shalat lima waktu dengan berjamaah di mesjid, puasa Senin Kamis dan belajar menyampaikan bayan (tausyiah) dalam majelis taklim serta mengikuti i’tiqaf selama tiga hari di mesjid At Taubah Lapas Pariaman.

Saya sangat bersyukur, karena semua aktivitas itu tidak pernah saya lakukan ketika di luar dulu. Karena saya banyak disibukkan masalah pekerjaan dan urusan keluarga. Ketika itu saya mengutamakan dunia, sehingga lalai dalam urusan akhirat.

Semoga pengalaman saya ini bisa menjadi ibrah (pembelajaran) bagi yang lainnya terutama bagi generasi muda, agar mereka dapat meraih cita-cita. Tentunya tidak mendekati narkoba atau sejenisnya, kalau ingin sukses dan bahagia serta selamat hidup di dunia dan akhirat. Karena sudah terbukti bahwa narkoba telah menghancurkan segalanya. Baik dalam bentuk harta, karier dan harga diri.

Alhamdulillah, saya bersyukur masih memiliki keluarga yang akan diselamatkan dan tentunya ada kesempatan untuk mendapatkan ridho Allah SWT dalam menghabiskan sisa umur ini.

Saat ini, manusia hanya yakin pada yang tampak. Untuk mendapatkan kebahagiaan, manusia membutuhkan benda. Untuk mendapatkan benda, manusia membutuhkan uang. Untuk mendapatkan uang, manusia mesti bekerja. Apabila keyakinan ini dibawa sampai mati, niscaya akan sengsara selamanya.

Akhirnya saya menyadari, bahwa Allah SWT yang kuasa dan makhluk tak kuasa. Dunia sementara, akhirat selamanya. Hari ini dunia nyata, akhirat hanya cerita. Suatu saat nanti akhirat yang nyata, dunia tinggal cerita.

Sekian tulisan sekilas perjalanan hidup saya yang kelam ini, semoga masih ada hari esok yang lebih cerah. Mohon maaf, jika ada yang kurang berkenan. Saya mohon ampunan kepada Allah SWT atas segala salah dan khilaf.

Sekurus-kurus ikan pasti ada dagingnya, segemuk-gemuk ikan pasti ada tulangnya. Makan dagingnya, buang tulangnya. Silahkan ambil baiknya dan buang yang buruknya.
Sekian dan Terima kasih.

Penulis : Anesa Satria, SH. MM Dt. Asa Nagari.
Penghuni kamar 3 Blok E Lapas Kelas IIB Pariaman.

Slider Ads

20220426_150049
IMG-20231026-WA0031
IMG-20231026-WA0032
20220426_150049 IMG-20231026-WA0031 IMG-20231026-WA0032

Tinggalkan pesanan

Alamat email anda tidak akan disiarkan.

This website uses cookies to improve your experience. We'll assume you're ok with this, but you can opt-out if you wish. Accept Read More